PELAKSANAAN PERJANJIAN ASURANSI
Dengan
telah diadakannya perjanjian asuransi bukan berarti bahwa penanggung hams
melaksanakan prestasi yang diperjanjikan, dengan membayar ganti rugi kepada
pihak tertanggung. Pelaksanaan prestasi tertanggung hanya akan direalisasikan
apabila peristiwa tertentu yang diperjanjikan itu terjadi dan menimbulkan
kerugian kepada tertanggung.
Adapun
syarat-syarat yang hams dipenuhi agar penanggung itu melaksanakan prestasinya
adalah:
1. Adanya
peristiwa yang tidak tertentu;
2. Hubungan sebab
akibat;
3. Cacat atau
kebusukan benda;
4. Kesalahan
sendiri dari tertanggung;
5. Azas indemnity
(keseimbangan);
6. Nilai benda
yang dipertanggungkan;
7. Hal-hal yang
memberatkan risiko;
8. Subrograsi;
9. Persekutuan dari
penanggung;
10. Restomo.
1. Adanya peristiwa yang tidak tertentu
Sebagaimana
telah diuraikan di muka bahwa perjanjian asuransi itu adalah perjanjian
bersyarat. Sedang syarat yang diperjanjikan dalam polis adalah kerugian yang
ditimbulkan oleh peristiwa yang tidak tertentu (evenement). Pertanyaan
yang mungkin timbul kemudian adalah, apakah rang dimaksudkan dengan peristiwa
yang tidak tertentu itu?
Yang
dimaksud dengan peristiwa tidak tertentu di sini adalah peristiwa yang tidak
diharapkan terjadinya, dan secara subyektif diketahui bahwa peristiwa itu belum
timbul sebelumnya dan tidak ada kepastian bahwa peristiwa itu akan terjadi.
Seandainya peristiwa itu telah terjadi atau secara obyektif diketahui pasti
akan terjadi, maka perjanjian masih secara sah berlaku asalkan tertanggung
tidak mengetahui sama sekali bahwa peristiwa itu telah atau pasti akan terjadi.
2. Hubungan sebab akibat
Kerugian
yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa tertentu (evenement) tidak secara
otomatis menyebabkan kerugian itu dibayar. Agar suatu kerugian itu diberikan
ganti oleh penanggung, hams dapat dibuktikan terlebih dahulu bahwa kerugian itu
adalah disebabkan oleh peril yang termasuk ke dalam tanggung jawab penanggung.
Apabila ada beberapa peristiwa yang menyebabkan kerugian, dan beberapa di
antaranya termasuk ke dalam jenis peristiwa yang dijaminkan kepada penanggung,
maka untuk menentukan sejauh manakah penanggung harus bertanggung jawab adalah
suatu hal yang tidak mudah.
Untuk
menentukan apakah penanggung bertanggung jawab terhadap suatu kerugian yang
terjadi atau tidak, ada beberapa pendapat sebagai berikut:
a. Teori Causa
Proxima
Menurut teori ini, maka
hanya peristiwa yang secara kronologis mempunyai urutan terdekat kepada
kerugian saja yang dapat dipertanggungjawabkan kepada penanggung. Teori
ini dianut oleh Marine Insurance Act 1906 sebagaimana dinyatakan oleh pasal
55-nya yang berbunyi: He (insurer) is not liable for any loss which is not
proximately caused by a peril insured against.
b. Teori Conditio Sine Quanon
Berdasarkan teori ini, maka yang dianggap
sebagai peristiwa yang menimbulkan kerugian adalah setiap/semua peristiwa yang
mendahului terjadinya kerugian tersebut.
c. Teori Causa Remota
Teori ini menyatakan bahwa peristiwa (peril)
yang menyebabkan timbulnya kerugian adalah peristiwa yang paling jauh.
d. Teori Adequate
Berdasarkan teori ini, maka peristiwa yang
dianggap sebagai peristiwa yang menimbulkan kerugian adalah peristiwa yang
berdasarkan pengalaman dianggap pantas menimbulkan kerugian tersebut. Jadi
tidak perlu adanya hubungan yang tegas. Yang diperlukan hanya suatu penilaian,
yaitu apakah suatu peristiwa itu pantas terjadi apabila suatu peristiwa
tertentu Iainnya itu terjadi.
Keempat teori itu ternyata tidak
dapat memecahkan masalah untuk menemukan peristiwa yang sekiranya dapat dianggap
sebagai peristiwa yang menimbulkan kerugian, terutama dalam hal kerugian itu
ditimbulkan oleh beberapa peristiwa yang mempunyai hubungan sebab akibat.
Sebagai contoh dapat dikemukakan
sebagai berikut: Sebuah bangunan diasuransikan terhadap bahaya kebakaran. Suatu
hari rumah itu terbakar, namun pada waktu yang bersamaan, juga ada angin badai
yang bertiup sangat kencang dan berputar-putar serta hujan deras. Dalam
kejadian seperti itu, tidak mudah untuk menentukan kerugian yang disebabkan
oleh masing-masing peristiwa.
Oleh karena itu, banyak polis
asuransi yang secara tegas hanya menjamin beberapa peril tertentu atau menjamin
semua risiko (All risks), walaupun penulisan seperti itupun belum tentu
dapat memecahkan masalah mengenai ada atau tidaknya kesalahan sendiri yang
biasanya tidak dijamin. Dalam hal yang pertama, maka risiko dari kerugian yang
disebutkan dalam polis saja yang dijamin, sedang pada yang kedua maka
penanggung hanya memberikan ganti rugi tanpa melihat/ membedakan peristiwa
penyebabnya, kecuali kesalahan sendiri.
Yang banyak dianut sekarang ini
adalah sebagaimana diutarakan oleh Scheltema bahwa pada dasarnya, penanggung
harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul yang disebabkan oleh
peristiwa-peristiwa yang masih dalam lingkungan/deretan hubungan sebab-akibat
yang dianggap layak menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, apabila terjadi
suatu kebakaran dan kemudian barang-barang yang dimiliki oleh orang yang kena
musibah itu banyak yang hilang, maka kerugian yang diakibatkan oleh kehilangan
tersebut juga mendapatkan ganti kerugian. Prinsip semacam ini dianut oleh pasal
290 KUHD.
3.
Catat atau kebusukan benda
Pasal 249 KUHD menentukan apabila
bahwa dalam polls secara tegas mengecualikan kerugian yang ditimbulkan oleh
suatu cacat, kebusukan sendiri atau karena sifat dari barang yang
dipertanggungkan itu, maka penanggung tidak akan bertanggung jawab terhadap
kerugian yang disebabkan oleh hal-hal yang disebutkan tadi. Kecuali dalam
perjanjian asuransi kesehatan karena dalam perjanjian semacam itu, yang
dipertanggungkan justru cacat dari badan itu sendiri, namun itupun tidak
berlaku apabila cacat itu disembunyikan sewaktu kontrak akan ditandatangani
atau penyakit telah ada sebelumnya.
4.
Kesalahan sendiri dari tertanggung
Pasal 276 KUHD menyatakan bahwa pada
dasarnya penanggung tidak akan bertanggung jawab terhadap kerugian yang
ditimbulkan oleh kesalahan tertanggung sendiri. Namun, kesalahan sendiri itu
tetap terbuka untuk dipertanggungkan, karena kesalahan sendiri itu juga merupakan
suatu peristiwa yang tidak tertentu. Apabila kesalahan sendiri itu akan
dipertanggungkan, harus dinyatakan secara tegas dalam polis.
5.
Prinsip indemnity (keseimbangan)
Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa
perjanjian asuransi itu mempunyai tujuan untuk mengalihkan risiko dan
tertanggung kepada penanggung dengan cara membeli polis asuransi. Dengan
dialihkannya risiko kepada penanggung, maka apabila terjadi kerugian yang
disebabkan oleh peril yang dijaminkan, penanggung akan membayar ganti rugi
sebesar nilai kerugian/nilai pertanggungan.
Dengan demikian, dalam memberikan
ganti rugi tersebut berlakulah azas keseimbangan karena ganti rugi yang
diberikan harus seimbang dengan nilai kerugian. Jadi perjanjian asuransi itu
hanya bertujuan untuk mengembalikan kedudukan ekonomi tertanggung seperti
semula, dan tidak bermaksud untuk mencari/memberikan keuntungan kepada pihak
tertanggung. Sebagai akibatnya, apabila sebuah benda dipertanggungkan dan nilai
pertanggungannya melebihi nilai benda itu sendiri, maka tertanggung hanya
berhak menerima ganti rugi sebesar nilai bendanya itu (kecuali dalam perjanjian
rangka kapal atau marine hull yang membolehkan untuk menanggungkan kapal
sebesar agreed value). KUHD mengatur azas tersebut dalam pasal 250, 264, 268,
dan 612.
6. Nilai
benda yang dipertanggungkan
Dalam asuransi, nilai benda yang
dipertanggungkan sangat panting. Hal tersebut disebabkan oleh tujuan perjanjian
asuransi adalah hanya untuk memberikan ganti kerugian sebesar nilai kerugian
yang terjadi, sehingga nilai barang yang dipertanggungkan sangat penting untuk
diketahui. Dari situ pula dapat kita ketahui apakah perjanjian pertanggungan
itu under valued, proper valued ataukah over valued. Karena nilai benda
yang dipertanggungkan penting untuk diketahui secara tepat oleh para pihak yang
berkepentingan, maka perlu dilakukan penaksiran harga barang secara benar.
Di dalam hukum pertanggungan,
dikenal beberapa cara penaksiran sebagai berikut:
a. Penaksiran oleh para pihak yang berkepentingan. Menurut cara ini
maka pihak penanggung dan tertanggung menentukan bersama-sama nilai benda yang
dipertanggungkan, yang merupakan nilai yang pasti dan tetap. Walaupun nilai
tetap itu ditentukan secara mufakat oleh kedua pihak, namun undang-undang masih
membuka kemungkinan bagi pihak penanggung untuk menurunkan nilai itu apabila
dianggap terlalu tinggi. Dalam hal demikian, maka penanggung harus dapat
membuktikannya di depan hakim (pasal 274).
b. Penaksiran oleh para ahli.
Para pihak dalam perjanjian asuransi
dapat meminta agar para ahli yang menentukan nilai benda yang dipertanggungkan.
Nilai yang ditetapkan para ahli itu adalah merupakan nilai final, yang tidak
dapat diubah lagi, kecuali apabila di kemudian ternyata dapat dibuktikan adanya
penipuan (pasal 275 KUHD).
Penyimpangan
dari kedua cara tersebut di atas dapat ditemukan pada perjanjian pertanggungan
asuransi pengangkutan laut (marine cargo insurance) sebagaimana diatur
oleh pasal 273 KUHD. Dalam perjanjian asuransi semacam itu, seringkali tidak
disebutkan nilai benda yang dipertanggungkan, sehingga polisnya disebut sebagai
Polis Terbuka (Open policy). Namun adakalanya bahwa dalam polis itu
disebutkan nilai benda yang dipertanggungkan, yang ditentukan secara sepihak
oleh pihak tertanggung. Dalam
hal demikian, maka tertanggung harus dapat membuktikan harga tersebut.
7. Hal-hal yang memberatkan risiko
Seringkali
terjadi bahwa setelah perjanjian asuransi itu ditandatangani, keadaan yang
dapat menyebabkan timbulnya risiko itu bertambah besar (timbul hazard
baru baik yang berupa fisik, moral, morale atau legal hazard).
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, apakah bertambahnya hazard
tersebut dapat menyebabkan batalnya perjanjian asuransi?
KUHD
mempunyai pengaturan yang bersifat umum dan khusus. Beberapa ketentuan yang
dapat dikemukakan di sini adalah sebagai berikut:
a. Pengaturan yang
bersifat umum
Pengaturan semacam ini
dapat dijumpai pada pasal 276 dan 294 KUHD, yang secara umum menetapkan bahwa
penanggung tidak akan menjamin kerugian yang timbul apabila kerugian itu
disebabkan oleh kesalahan tertanggung.
b. Pengaturan yang
bersifat khusus
Pengaturan semacam itu
dijumpai pada pasal 293. Pasal ini menentukan bahwa dalam perjanjian asuransi
kebakaran, apabila perubahan yang menyebabkan bertambah besarnya kerugian itu
telah ada sebelum perjanjian asuransi itu diadakan, maka akan menyebabkan
berakhirnya perjanjian pertanggungan. Sebagai contoh adalah adanya perubahan
pada pemakaian gedung atau adanya perubahan fisik dari gedung itu yang
menyebabkan risiko bertambah besar.
Selanjutnya
ketentuan pasal 638, yang menentukan bahwa perjanjian asuransi laut akan
berhenti apabila nahkoda, baik atas kehendak sendiri atau atas perintah pemilik
kapal tanpa persetujuan penanggung mengubah route pelayaran, kecuali jika
secara tegas diperjanjikan bahwa nahkoda dapat mengubah route kapal. Ketentuan
ini berhubungan dengan klasifikasi kapal, yang menyebabkan bahwa kapal hanya
laik untuk berlayar pada laut atau perairan tertentu saja. Perubahan route
pelayaran akan dapat menyebabkan meningkatnya kemungkinan peril yang dapat
menimbulkan kerugian.
Dan
ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa penanggunglah
yang dilindungi. Guna lebih mengefektifkan ketentuan-ketentuan itu, banyak
polls yang mencantumkan klasula pengecualian semacam itu.
8. Subrograsi
Di dalam
hukum perjanjian kita mengenal adanya perikatan yang timbul karena perbuatan
orang dan perikatan yang timbul karena undang-undang.
Pasal
1365 KUHPer. menetapkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Di sini undang-undang menetapkan bahwa perikatan dapat
timbul karena perbuatan melanggar hukum.
Berdasarkan
ketentuan undang-undang tersebut di atas, bagi pemegang polis yang menderita
kerugian yang disebabkan oleh bahaya yang diperjanjikan dalam polis karena
kesalahan orang lain, dapat menuntut ganti rugi dari dua pihak. Namun hal
semacam itu bertentangan dengan prinsip indemnity yang berlaku dalam hukum
asuransi. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang telah memberikan rambu-rambu
guna mencegah penyalahgunaan semacam itu. Pasal 284 KUHD menentukan bahwa
penanggung yang telah membayar ganti terhadap suatu barang yang
dipertanggungkan, memperoleh semua hak tertanggung yang timbul karena adanya
kerugian itu pada pihak ketiga Prinsip itu disebut sebagai subrograsi.
9. Persekutuan dad penanggung
Persekutuan
dari penanggung itu terjadi dalam hal atas suatu polis asuransi yang sama,
beberapa penanggung memberikan jaminan kepada suatu obyek asuransi dengan harga
melebihi nilai dan barang itu sendiri. Dalam pertanggungan semacam itu, maka
setiap penanggung hanya bertanggung jawab seimbang dengan risiko yang
ditanggungnya menurut harga barang yang sebenarnya. Prinsip ini diatur dalam
pasal 278 KUHD, dan ketentuan itu sesuai dengan prinsip indemnity yang berlaku
dalam hukum asuransi.
10. Restorno
Yang
dimaksudkan dengan restorno adalah pembayaran kembali premi asuransi karena
gugurnya/batalnya perjanjian asuransi. Dasar hukum dari azas ini adalah pasal
1359 KUHPer yang menyatakan bahwa tiap-tiap pembayaran yang memperkirakan
adanya utang, maka atas semua pembayaran yang tidak wajib dan telah dilakukan
dapat dituntut pengembaliannya. Batalnya perjanjian antara lain dapat
disebabkan oleh adanya penipuan, adanya paksaan secara fisik atau secara rohani
sebagaimana diatur oleh pasal 1321 sampai dengan 1328 KUHPer. Pengecualian dan
kewajiban untuk dikembalikan diberikan kepada biaya atau bunga apabila memang
ada (pasal 1452 dan 1453 KUHPer).
Dalam hukum asuransi, penerapan azas ini harus hati-hati
karena dapat merugikan penanggung yang disebabkan oleh adanya itikad yang tidak
balk dan tertanggung, terutama tertanggung yang tidak mempunyai kepentingan
terhadap obyek yang diasuransikan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka
pasal 281 KUHD menentukan bahwa premi restomo itu tidak akan ada apabila
tertanggung mempunyai itikad buruk. Tertanggung memperoleh hukuman dengan
membiarkan premi tetap berada pada penanggung.
Selain
dan pada itu, perlu diperhatikan adanya beberapa hal lain yang berpengaruh
terhadap pelaksanaan perjanjian asuransi. Hal-hal penting dimaksud adalah:
a. Penyerahan polis
dan atau premi
Sepanjang tidak
ditentukan lain oleh undang-undang, polis harus diserahkan dalam waktu 24 jam
setelah dimintakan tanda tangan kepada penanggung apabila penutupan itu tidak
melalui perantara (pasal 259). Dalam hal penutupan asuransi dilakukan melalui
pialang, maka polis harus diserahkan kepada tertanggung dalam waktu delapan
hari setelah penutupan asuransi (pasal 260). Kerugian yang timbul dari
kelalaian tersebut merupakan tanggung jawab penanggung atau pialang (pasal
261).
Apabila polis mengatur mengenai jangka waktu penyerahan premi
dan premi dibayarkan melalui pialang, maka pasal 22 ayat 3 PP no. 73/1992
menyatakan bahwa perusahaan pialang asuransi hams bertanggung jawab atas
pembayaran klaim yang terjadi apabila penyerahan premi kepada perusahaan
asuransi dilakukan di luar jangka waktu yang ditetapkan dalam polis tersebut.
b. Berpindahnya hak
milik
Suatu pertanggungan
biasanya berlaku efektif untuk jangka waktu tertentu. Apabila dalam masa
pertanggungan, barang yang dipertanggungkan itu dialihkan kepemilikan-nya
kepada pihak lain, maka perjanjian asuransi itu berlangsung terus untuk
keuntungan pemilik baru sepanjang tidak ditentukan sebaliknya atau pemilik baru
menolak. Ketentuan ini berlaku bahkan apabila pertanggungan itupun tidak
ditentukan dialihkan. Apabila pemilik baru menolak pengalihan pertanggungan,
maka keuntungan atas perjanjian asuransi menjadi hak tertanggung atau pemilik
lama (pasal 263).
Ketentuan pasal ini memang agak menyimpang dari prinsip
asuransi umumnya, karena dengan beralihnya kepemilikan atas suatu barang maka hazard
yang dihadapi juga akan berubah. Sedang dalam hal pemilik baru barang yang
dipertanggungkan itu menolak dialihkannya pertanggungan, maka apabila terjadi
kerugian atas barang tersebut, maka pemilik lama sebetulnya juga sudah tidak
mempunyai kepentingan lagi terhadap barang itu.
c. Over valued
Apabila suatu barang
dengan itikad baik diasuransikan beberapa kali yang nilai pertanggungannya
melebihi nilai barang itu sendiri, maka dalam hal pertanggungan pertama telah
mencakup harga sepenuhnya, hanya pertanggungan yang pertamalah yang mengikat.
Sedang dalam hal pertanggungan pertama itu tidak mempertanggungkan harga
sepenuhnya, maka penanggung berikutnya secara berturut-turut bertanggung jawab
terhadap harga selebihnya berdasarkan urutan waktu ditutupnya pertanggungan
tersebut (pasal 277).
Selanjutnya, apabila suatu barang ditutup asuransinya oleh
beberapa perusahaan asuransi dalam satu polis dengan jumlah pertanggungan yang
melebihi nilai barang itu sendiri, maka mereka bertanggung jawab secara
proporsionil sebesar nilai barang itu (pasal 278).
d. Batalnya
pertanggungan
Suatu perjanjian
asuransi adakalanya gugur atau batal seluruhnya atau sebagian. Apabila si
tertanggung mempunyai itikad yang baik, maka penanggung wajib mengembalikan
uang premi seluruhnya atau sebagian (pasal 281).
Mengenai hal ini, pasal 11 Keputusan Menteri Keuangan nomor
225/KMK.017/1993 menentukan bahwa dalam hal terjadinya pembatalan polis
asuransi kerugian atas kehendak penanggung, pengembalian premi dilakukan secara
prorata berdasarkan sisa jangka waktu pertanggungan. Sedang dalam hal
pembatalan pertanggungan asuransi kerugian itu diajukan oleh tertanggung, maka
pengembalian premi harus dihitung dari jumlah premi satu tahun dikurangi premi
untuk jangka waktu pertanggungan yang telah berjalan, sesuai dengan tarif premi
untuk pertanggungan kurang dari satu tahun yang ditetapkan oleh perusahaan, dan
tidak termasuk bagian premi yang dibayarkan sebagai komisi kepada perusahaan
pialang asuransi.
Untuk polis asuransi jiwa, pasal 12
menentukan bahwa apabila pertanggungan itu dibatalkan dan polisnya mempunyai
unsur tabungan sebelum tanggal jatuh tempo, premi harus dikembalikan paling
sedikit sejumlah nilai tunainya. Sebaliknya apabila polis itu tidak mempunyai
nilai tunai, maka pengembalian premi harus dilakukan dengan cara seperti pada
pasal 11 di atas.
KUHD dalam pasal 282-nya memberikan
perlindungan kepada penanggung terhadap batalnya perjanjian asuransi oleh
kelicikan atau penipuan yang dilakukan oleh tertanggung. Apabila hal itu
terjadi, maka penanggung tetap berhak atas premi yang diterimanya. Sedang
tertanggung selain tidak berhak atas premi yang telah dibayarkannya, juga dapat
dikenakan ancaman pidana atas penipuan yang telah dilakukan itu.
Berdasarkan
kepada uraian di atas, maka jelaslah bahwa baik penanggung maupun tertanggung
sama-sama mempunyai hak dan kewajiban terhadap perjanjian pertanggungan agar
perjanjian tersebut dapat berjalan sebagaimana diharapkan kedua belah pihak.
Apabila ada pihak dalam perjanjian yang menggunakan kesempatan untuk keuntungan
dirinya sendiri dan merugikan pihak lain, ketentuan-ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang sebagaimana disebutkan di muka telah menetapkan
hukumnya. Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan bersama, kiranya baik
penanggung maupun tertanggung diharapkan benar-benar dapat menunjukkan itikad
baiknya. Hanya dengan cara itulah eksistensi perusahaan
asuransi akan benar-benar dapat diakui oleh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar