Kamis, 01 November 2012

PELAKSANAAN PERJANJIAN ASURANSI


PELAKSANAAN PERJANJIAN ASURANSI
            Dengan telah diadakannya perjanjian asuransi bukan berarti bahwa penanggung hams melaksanakan prestasi yang diperjanjikan, dengan membayar ganti rugi kepada pihak tertanggung. Pelaksanaan prestasi tertanggung hanya akan direalisasikan apabila peristiwa tertentu yang diperjanjikan itu terjadi dan menimbulkan kerugian kepada tertanggung.
            Adapun syarat-syarat yang hams dipenuhi agar penanggung itu melaksanakan prestasinya adalah:
1.    Adanya peristiwa yang tidak tertentu;
2.    Hubungan sebab akibat;
3.    Cacat atau kebusukan benda;
4.    Kesalahan sendiri dari tertanggung;
5.    Azas indemnity (keseimbangan);
6.    Nilai benda yang dipertanggungkan;
7.    Hal-hal yang memberatkan risiko;
8.    Subrograsi;
9.    Persekutuan  dari  penanggung;
10.   Restomo.
1. Adanya peristiwa yang tidak tertentu
            Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa perjanjian asuransi itu adalah perjanjian bersyarat. Sedang syarat yang diperjanjikan dalam polis adalah kerugian yang ditimbulkan oleh peristiwa yang tidak tertentu (evenement). Pertanyaan yang mungkin timbul kemudian adalah, apakah rang dimaksudkan dengan peristiwa yang tidak tertentu itu?
            Yang dimaksud dengan peristiwa tidak tertentu di sini adalah peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, dan secara subyektif diketahui bahwa peristiwa itu belum timbul sebelumnya dan tidak ada kepastian bahwa peristiwa itu akan terjadi. Seandainya peristiwa itu telah terjadi atau secara obyektif diketahui pasti akan terjadi, maka perjanjian masih secara sah berlaku asalkan tertanggung tidak mengetahui sama sekali bahwa peristiwa itu telah atau pasti akan terjadi.

2. Hubungan sebab akibat
            Kerugian yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa tertentu (evenement) tidak secara otomatis menyebabkan kerugian itu dibayar. Agar suatu kerugian itu diberikan ganti oleh penanggung, hams dapat dibuktikan terlebih dahulu bahwa kerugian itu adalah disebabkan oleh peril yang termasuk ke dalam tanggung jawab penanggung. Apabila ada beberapa peristiwa yang menyebabkan kerugian, dan beberapa di antaranya termasuk ke dalam jenis peristiwa yang dijaminkan kepada penanggung, maka untuk menentukan sejauh manakah penanggung harus bertanggung jawab adalah suatu hal yang tidak mudah.
            Untuk menentukan apakah penanggung bertanggung jawab terhadap suatu kerugian yang terjadi atau tidak, ada beberapa pendapat sebagai berikut:
a.    Teori Causa Proxima
Menurut teori ini, maka hanya peristiwa yang secara kronologis mempunyai urutan terdekat kepada kerugian saja yang dapat dipertanggungjawabkan kepada penanggung. Teori ini dianut oleh Marine Insurance Act 1906 sebagaimana dinyatakan oleh pasal 55-nya yang berbunyi: He (insurer) is not liable for any loss which is not proximately caused by a peril insured against.
b.    Teori Conditio Sine Quanon
Berdasarkan teori ini, maka yang dianggap sebagai peristiwa yang menimbulkan kerugian adalah setiap/semua peristiwa yang mendahului terjadinya kerugian tersebut.
c.    Teori Causa Remota
Teori ini menyatakan bahwa peristiwa (peril) yang menyebabkan timbulnya kerugian adalah peristiwa yang paling jauh.
d.    Teori Adequate
Berdasarkan teori ini, maka peristiwa yang dianggap sebagai peristiwa yang menimbulkan kerugian adalah peristiwa yang berdasarkan pengalaman dianggap pantas menimbulkan kerugian tersebut. Jadi tidak perlu adanya hubungan yang tegas. Yang diperlukan hanya suatu penilaian, yaitu apakah suatu peristiwa itu pantas terjadi apabila suatu peristiwa tertentu Iainnya itu terjadi.
            Keempat teori itu ternyata tidak dapat memecahkan masalah untuk menemukan peristiwa yang sekiranya dapat dianggap sebagai peristiwa yang menimbulkan kerugian, terutama dalam hal kerugian itu ditimbulkan oleh beberapa peristiwa yang mempunyai hubungan sebab akibat.
            Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut: Sebuah bangunan diasuransikan terhadap bahaya kebakaran. Suatu hari rumah itu terbakar, namun pada waktu yang bersamaan, juga ada angin badai yang bertiup sangat kencang dan berputar-putar serta hujan deras. Dalam kejadian seperti itu, tidak mudah untuk menentukan kerugian yang disebabkan oleh masing-masing peristiwa.
            Oleh karena itu, banyak polis asuransi yang secara tegas hanya menjamin beberapa peril tertentu atau menjamin semua risiko (All risks), walaupun penulisan seperti itupun belum tentu dapat memecahkan masalah mengenai ada atau tidaknya kesalahan sendiri yang biasanya tidak dijamin. Dalam hal yang pertama, maka risiko dari kerugian yang disebutkan dalam polis saja yang dijamin, sedang pada yang kedua maka penanggung hanya memberikan ganti rugi tanpa melihat/ membedakan peristiwa penyebabnya, kecuali kesalahan sendiri.
            Yang banyak dianut sekarang ini adalah sebagaimana diutarakan oleh Scheltema bahwa pada dasarnya, penanggung harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul yang disebabkan oleh peristiwa­-peristiwa yang masih dalam lingkungan/deretan hubungan sebab-akibat yang dianggap layak menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, apabila terjadi suatu kebakaran dan kemudian barang-barang yang dimiliki oleh orang yang kena musibah itu banyak yang hilang, maka kerugian yang diakibatkan oleh kehilangan tersebut juga mendapatkan ganti kerugian. Prinsip semacam ini dianut oleh pasal 290 KUHD.
3. Catat atau kebusukan benda
            Pasal 249 KUHD menentukan apabila bahwa dalam polls secara tegas mengecualikan kerugian yang ditimbulkan oleh suatu cacat, kebusukan sendiri atau karena sifat dari barang yang dipertanggungkan itu, maka penanggung tidak akan bertanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkan oleh hal-hal yang disebutkan tadi. Kecuali dalam perjanjian asuransi kesehatan karena dalam perjanjian semacam itu, yang dipertanggungkan justru cacat dari badan itu sendiri, namun itupun tidak berlaku apabila cacat itu disembunyikan sewaktu kontrak akan ditandatangani atau penyakit telah ada sebelumnya.

4. Kesalahan sendiri dari tertanggung
            Pasal 276 KUHD menyatakan bahwa pada dasarnya penanggung tidak akan bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahan tertanggung sendiri. Namun, kesalahan sendiri itu tetap terbuka untuk dipertanggungkan, karena kesalahan sendiri itu juga merupakan suatu peristiwa yang tidak tertentu. Apabila kesalahan sendiri itu akan dipertanggungkan, harus dinyatakan secara tegas dalam polis.


5. Prinsip indemnity (keseimbangan)
            Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa perjanjian asuransi itu mempunyai tujuan untuk mengalihkan risiko dan tertanggung kepada penanggung dengan cara membeli polis asuransi. Dengan dialihkannya risiko kepada penanggung, maka apabila terjadi kerugian yang disebabkan oleh peril yang dijaminkan, penanggung akan membayar ganti rugi sebesar nilai kerugian/nilai pertanggungan.
            Dengan demikian, dalam memberikan ganti rugi tersebut berlakulah azas keseimbangan karena ganti rugi yang diberikan harus seimbang dengan nilai kerugian. Jadi perjanjian asuransi itu hanya bertujuan untuk mengembalikan kedudukan ekonomi tertanggung seperti semula, dan tidak bermaksud untuk mencari/memberikan keuntungan kepada pihak tertanggung. Sebagai akibatnya, apabila sebuah benda dipertanggungkan dan nilai pertanggungannya melebihi nilai benda itu sendiri, maka tertanggung hanya berhak menerima ganti rugi sebesar nilai bendanya itu (kecuali dalam perjanjian rangka kapal atau marine hull yang membolehkan untuk menanggungkan kapal sebesar agreed value). KUHD mengatur azas tersebut dalam pasal 250, 264, 268, dan 612.

6. Nilai benda yang dipertanggungkan
            Dalam asuransi, nilai benda yang dipertanggungkan sangat panting. Hal tersebut disebabkan oleh tujuan perjanjian asuransi adalah hanya untuk memberikan ganti kerugian sebesar nilai kerugian yang terjadi, sehingga nilai barang yang dipertanggungkan sangat penting untuk diketahui. Dari situ pula dapat kita ketahui apakah perjanjian pertanggungan itu under valued, proper valued ataukah over valued. Karena nilai benda yang dipertanggungkan penting untuk diketahui secara tepat oleh para pihak yang berkepentingan, maka perlu dilakukan penaksiran harga barang secara benar.
            Di dalam hukum pertanggungan, dikenal beberapa cara penaksiran sebagai berikut:
a.    Penaksiran oleh para pihak yang berkepentingan. Menurut cara ini maka pihak penanggung dan tertanggung menentukan bersama-sama nilai benda yang dipertanggungkan, yang merupakan nilai yang pasti dan tetap. Walaupun nilai tetap itu ditentukan secara mufakat oleh kedua pihak, namun undang-undang masih membuka kemungkinan bagi pihak penanggung untuk menurunkan nilai itu apabila dianggap terlalu tinggi. Dalam hal demikian, maka penanggung harus dapat membuktikannya di depan hakim (pasal 274).
b.    Penaksiran oleh para ahli.
       Para pihak dalam perjanjian asuransi dapat meminta agar para ahli yang menentukan nilai benda yang dipertanggungkan. Nilai yang ditetapkan para ahli itu adalah merupakan nilai final, yang tidak dapat diubah lagi, kecuali apabila di kemudian ternyata dapat dibuktikan adanya penipuan (pasal 275 KUHD).
            Penyimpangan dari kedua cara tersebut di atas dapat ditemukan pada perjanjian pertanggungan asuransi pengangkutan laut (marine cargo insurance) sebagaimana diatur oleh pasal 273 KUHD. Dalam perjanjian asuransi semacam itu, seringkali tidak disebutkan nilai benda yang dipertanggungkan, sehingga polisnya disebut sebagai Polis Terbuka (Open policy). Namun adakalanya bahwa dalam polis itu disebutkan nilai benda yang dipertanggungkan, yang ditentukan secara sepihak oleh pihak tertanggung. Dalam hal demikian, maka tertanggung harus dapat membuktikan harga tersebut.

7. Hal-hal yang memberatkan risiko
            Seringkali terjadi bahwa setelah perjanjian asuransi itu ditandatangani, keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya risiko itu bertambah besar (timbul hazard baru baik yang berupa fisik, moral, morale atau legal hazard). Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, apakah bertambahnya hazard tersebut dapat menyebabkan batalnya perjanjian asuransi?
            KUHD mempunyai pengaturan yang bersifat umum dan khusus. Beberapa ketentuan yang dapat dikemukakan di sini adalah sebagai berikut:
a.  Pengaturan yang bersifat umum
Pengaturan semacam ini dapat dijumpai pada pasal 276 dan 294 KUHD, yang secara umum menetapkan bahwa penanggung tidak akan menjamin kerugian yang timbul apabila kerugian itu disebabkan oleh kesalahan tertanggung.
b.  Pengaturan yang bersifat khusus
Pengaturan semacam itu dijumpai pada pasal 293. Pasal ini menentukan bahwa dalam perjanjian asuransi kebakaran, apabila perubahan yang menyebabkan bertambah besarnya kerugian itu telah ada sebelum perjanjian asuransi itu diadakan, maka akan menyebabkan berakhirnya perjanjian pertanggungan. Sebagai contoh adalah adanya perubahan pada pemakaian gedung atau adanya perubahan fisik dari gedung itu yang menyebabkan risiko bertambah besar.
            Selanjutnya ketentuan pasal 638, yang menentukan bahwa perjanjian asuransi laut akan berhenti apabila nahkoda, baik atas kehendak sendiri atau atas perintah pemilik kapal tanpa persetujuan penanggung mengubah route pelayaran, kecuali jika secara tegas diperjanjikan bahwa nahkoda dapat mengubah route kapal. Ketentuan ini berhubungan dengan klasifikasi kapal, yang menyebabkan bahwa kapal hanya laik untuk berlayar pada laut atau perairan tertentu saja. Perubahan route pelayaran akan dapat menyebabkan meningkatnya kemungkinan peril yang dapat menimbulkan kerugian.
            Dan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa penanggunglah yang dilindungi. Guna lebih mengefektifkan ketentuan-ketentuan itu, banyak polls yang mencantumkan klasula pengecualian semacam itu.

8. Subrograsi
            Di dalam hukum perjanjian kita mengenal adanya perikatan yang timbul karena perbuatan orang dan perikatan yang timbul karena undang-­undang.
            Pasal 1365 KUHPer. menetapkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Di sini undang-undang menetapkan bahwa perikatan dapat timbul karena perbuatan melanggar hukum.
            Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut di atas, bagi pemegang polis yang menderita kerugian yang disebabkan oleh bahaya yang diperjanjikan dalam polis karena kesalahan orang lain, dapat menuntut ganti rugi dari dua pihak. Namun hal semacam itu bertentangan dengan prinsip indemnity yang berlaku dalam hukum asuransi. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang telah memberikan rambu-rambu guna mencegah penyalahgunaan semacam itu. Pasal 284 KUHD menentukan bahwa penanggung yang telah membayar ganti terhadap suatu barang yang dipertanggungkan, memperoleh semua hak tertanggung yang timbul karena adanya kerugian itu pada pihak ketiga Prinsip itu disebut sebagai subrograsi.

9. Persekutuan dad penanggung
            Persekutuan dari penanggung itu terjadi dalam hal atas suatu polis asuransi yang sama, beberapa penanggung memberikan jaminan kepada suatu obyek asuransi dengan harga melebihi nilai dan barang itu sendiri. Dalam pertanggungan semacam itu, maka setiap penanggung hanya bertanggung jawab seimbang dengan risiko yang ditanggungnya menurut harga barang yang sebenarnya. Prinsip ini diatur dalam pasal 278 KUHD, dan ketentuan itu sesuai dengan prinsip indemnity yang berlaku dalam hukum asuransi.

10. Restorno
            Yang dimaksudkan dengan restorno adalah pembayaran kembali premi asuransi karena gugurnya/batalnya perjanjian asuransi. Dasar hukum dari azas ini adalah pasal 1359 KUHPer yang menyatakan bahwa tiap-tiap pembayaran yang memperkirakan adanya utang, maka atas semua pembayaran yang tidak wajib dan telah dilakukan dapat dituntut pengembaliannya. Batalnya perjanjian antara lain dapat disebabkan oleh adanya penipuan, adanya paksaan secara fisik atau secara rohani sebagaimana diatur oleh pasal 1321 sampai dengan 1328 KUHPer. Pengecualian dan kewajiban untuk dikembalikan diberikan kepada biaya atau bunga apabila memang ada (pasal 1452 dan 1453 KUHPer).
Dalam hukum asuransi, penerapan azas ini harus hati-hati karena dapat merugikan penanggung yang disebabkan oleh adanya itikad yang tidak balk dan tertanggung, terutama tertanggung yang tidak mempunyai kepentingan terhadap obyek yang diasuransikan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pasal 281 KUHD menentukan bahwa premi restomo itu tidak akan ada apabila tertanggung mempunyai itikad buruk. Tertanggung memperoleh hukuman dengan membiarkan premi tetap berada pada penanggung.
            Selain dan pada itu, perlu diperhatikan adanya beberapa hal lain yang berpengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian asuransi. Hal-hal   penting dimaksud adalah:
a. Penyerahan polis dan atau premi
Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang, polis harus diserahkan dalam waktu 24 jam setelah dimintakan tanda tangan kepada penanggung apabila penutupan itu tidak melalui perantara (pasal 259). Dalam hal penutupan asuransi dilakukan melalui pialang, maka polis harus diserahkan kepada tertanggung dalam waktu delapan hari setelah penutupan asuransi (pasal 260). Kerugian yang timbul dari kelalaian tersebut merupakan tanggung jawab penanggung atau pialang (pasal 261).
       Apabila polis mengatur mengenai jangka waktu penyerahan premi dan premi dibayarkan melalui pialang, maka pasal 22 ayat 3 PP no. 73/1992 menyatakan bahwa perusahaan pialang asuransi hams bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang terjadi apabila penyerahan premi kepada perusahaan asuransi dilakukan di luar jangka waktu yang ditetapkan dalam polis tersebut.
b.  Berpindahnya hak milik
Suatu pertanggungan biasanya berlaku efektif untuk jangka waktu tertentu. Apabila dalam masa pertanggungan, barang yang dipertanggungkan itu dialihkan kepemilikan-nya kepada pihak lain, maka perjanjian asuransi itu berlangsung terus untuk keuntungan pemilik baru sepanjang tidak ditentukan sebaliknya atau pemilik baru menolak. Ketentuan ini berlaku bahkan apabila pertanggungan itupun tidak ditentukan dialihkan. Apabila pemilik baru menolak pengalihan pertanggungan, maka keuntungan atas perjanjian asuransi menjadi hak tertanggung atau pemilik lama (pasal 263).
       Ketentuan pasal ini memang agak menyimpang dari prinsip asuransi umumnya, karena dengan beralihnya kepemilikan atas suatu barang maka hazard yang dihadapi juga akan berubah. Sedang dalam hal pemilik baru barang yang dipertanggungkan itu menolak dialihkannya pertanggungan, maka apabila terjadi kerugian atas barang tersebut, maka pemilik lama sebetulnya juga sudah tidak mempunyai kepentingan lagi terhadap barang itu.
c. Over valued
Apabila suatu barang dengan itikad baik diasuransikan beberapa kali yang nilai pertanggungannya melebihi nilai barang itu sendiri, maka dalam hal pertanggungan pertama telah mencakup harga sepenuhnya, hanya pertanggungan yang pertamalah yang mengikat. Sedang dalam hal pertanggungan pertama itu tidak mempertanggungkan harga sepenuhnya, maka penanggung berikutnya secara berturut-turut bertanggung jawab terhadap harga selebihnya berdasarkan urutan waktu ditutupnya pertanggungan tersebut (pasal 277).
       Selanjutnya, apabila suatu barang ditutup asuransinya oleh beberapa perusahaan asuransi dalam satu polis dengan jumlah pertanggungan yang melebihi nilai barang itu sendiri, maka mereka bertanggung jawab secara proporsionil sebesar nilai barang itu (pasal 278).
d.  Batalnya pertanggungan
Suatu perjanjian asuransi adakalanya gugur atau batal seluruhnya atau sebagian. Apabila si tertanggung mempunyai itikad yang baik, maka penanggung wajib mengembalikan uang premi seluruhnya atau sebagian (pasal 281).
       Mengenai hal ini, pasal 11 Keputusan Menteri Keuangan nomor 225/KMK.017/1993 menentukan bahwa dalam hal terjadinya pembatalan polis asuransi kerugian atas kehendak penanggung, pengembalian premi dilakukan secara prorata berdasarkan sisa jangka waktu pertanggungan. Sedang dalam hal pembatalan pertanggungan asuransi kerugian itu diajukan oleh tertanggung, maka pengembalian premi harus dihitung dari jumlah premi satu tahun dikurangi premi untuk jangka waktu pertanggungan yang telah berjalan, sesuai dengan tarif premi untuk pertanggungan kurang dari satu tahun yang ditetapkan oleh perusahaan, dan tidak termasuk bagian premi yang dibayarkan sebagai komisi kepada perusahaan pialang asuransi.
       Untuk polis asuransi jiwa, pasal 12 menentukan bahwa apabila pertanggungan itu dibatalkan dan polisnya mempunyai unsur tabungan sebelum tanggal jatuh tempo, premi harus dikembalikan paling sedikit sejumlah nilai tunainya. Sebaliknya apabila polis itu tidak mempunyai nilai tunai, maka pengembalian premi harus dilakukan dengan cara seperti pada pasal 11 di atas.
            KUHD dalam pasal 282-nya memberikan perlindungan kepada penanggung terhadap batalnya perjanjian asuransi oleh kelicikan atau penipuan yang dilakukan oleh tertanggung. Apabila hal itu terjadi, maka penanggung tetap berhak atas premi yang diterimanya. Sedang tertanggung selain tidak berhak atas premi yang telah dibayarkannya, juga dapat dikenakan ancaman pidana atas penipuan yang telah dilakukan itu.
            Berdasarkan kepada uraian di atas, maka jelaslah bahwa baik penanggung maupun tertanggung sama-sama mempunyai hak dan kewajiban terhadap perjanjian pertanggungan agar perjanjian tersebut dapat berjalan sebagaimana diharapkan kedua belah pihak. Apabila ada pihak dalam perjanjian yang menggunakan kesempatan untuk keuntungan dirinya sendiri dan merugikan pihak lain, ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang sebagaimana disebutkan di muka telah menetapkan hukumnya. Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan bersama, kiranya baik penanggung maupun tertanggung diharapkan benar-benar dapat menunjukkan itikad baiknya. Hanya dengan cara itulah eksistensi perusahaan asuransi akan benar-benar dapat diakui oleh masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar